Lubuk Linggau, VNM– Upaya digitalisasi layanan publik oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Lubuk Linggau mendapat sorotan tajam. Hal ini menyusul peluncuran aplikasi pengaduan lingkungan hidup bernama “Si Adung” yang dibangun dengan biaya Rp. 92 juta dari APBD Tahun Anggaran 2024.
Aplikasi tersebut masuk dalam kegiatan “Penyelesaian Pengaduan Masyarakat di bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLTH) Kabupaten/Kota” dengan kode rekening kegiatan 2.11.10.10.2.01.
Namun alih-alih menjadi terobosan layanan berbasis digital, aplikasi ini justru menimbulkan tanda tanya besar: mengapa proyek senilai puluhan juta rupiah hanya menargetkan satu aduan dalam setahun?
Data dari dokumen perencanaan anggaran menunjukkan bahwa indikator tolok ukur kinerja kegiatan ini hanya memuat target satu pengaduan lingkungan dalam setahun. Hal ini memunculkan kecurigaan, bahwa pembangunan aplikasi hanya dijadikan alat untuk menghabiskan anggaran, bukan sebagai kebutuhan riil pelayanan masyarakat.
“Ini jelas pemborosan. Kalau targetnya hanya satu pengaduan dalam setahun, mengapa tidak gunakan saja email resmi, hotline, atau kanal media sosial yang sudah ada? Mengapa harus aplikasi baru dengan biaya sebesar itu?” kata Doni Aryansyah Senin, (28/7).
Menurut ketua LSM Aliansi Pemuda Anti Korupsi, kegiatan ini terkesan hanya formalitas, untuk memenuhi capaian kinerja namun tidak menjawab persoalan sesungguhnya di bidang pengawasan lingkungan.
Ketika ditelusuri melalui laman resminya di https://siadung.lubuklinggaukota.go.id, tampilan aplikasi Si Adung sangat sederhana, nyaris seperti halaman formulir biasa yang dibangun dengan template umum. Tidak ditemukan fitur modern seperti:
Tracking pengaduan (tiket pelaporan), Laporan publik transparan, Dashboard data lingkungan, Integrasi lokasi spasial pengaduan, Notifikasi atau sistem verifikasi otomatis.
Padahal, menurut Doni Aryansyah, anggaran Rp. 92 juta tersebut seharusnya bisa mencakup perancangan sistem, pembangunan front-end dan back-end, pengujian, sosialisasi, hingga pelatihan admin/operator. Namun tidak tampak adanya tahapan kegiatan itu yang dilakukan secara utuh dan profesional.
Seorang pengembang perangkat lunak independen di Kota Lubuk Linggau, yang sempat dimintai penilaian terhadap tampilan dan fitur aplikasi, menyebut bahwa aplikasi Si Adung kemungkinan dibangun dengan biaya riil tidak lebih dari Rp5-10 juta bila dikerjakan oleh developer lokal.
“Kalau melihat UI/UX-nya, ini bisa dikerjakan oleh mahasiswa tingkat akhir dalam waktu satu minggu. Kalau biayanya Rp92 juta, harusnya minimal sudah punya sistem akun pelapor, dashboard pengelolaan laporan, dan fitur API integrasi.” pungkasnya.
LSM APAK menilai, besarnya selisih antara anggaran dan kualitas hasil menimbulkan kekhawatiran terjadinya penyimpangan dalam proses perencanaan maupun pelaksanaan kegiatan. Tidak tertutup kemungkinan bahwa penyedia jasa pengembang aplikasi dipilih tanpa kajian kebutuhan atau bahkan melalui mekanisme penunjukan langsung tanpa evaluasi kualitas.
"Hal ini berpotensi melanggar prinsip value for money, salah satu prinsip utama dalam tata kelola keuangan negara, serta melanggar ketentuan dalam Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah," lanjutnya.
LSM APAK juga mengkhawatirkan ada nya indikasi dugaan pelanggaran lain yang muncul di antara nya:
Tidak adanya justifikasi teknis tertulis mengapa aplikasi dibutuhkan.
Ketiadaan dokumen uji coba (UAT – user acceptance test), Ketiadaan bukti pelatihan pengguna atau sosialisasi publik, Capaian output yang tidak rasional (1 pengaduan = 92 juta).
LSM APAK kini mendesak agar Inspektorat Kota Lubuk Linggau, maupun Aparat Penegak Hukum (APH) turun tangan untuk melakukan audit khusus terhadap kegiatan ini. Tak hanya melihat aspek laporan keuangan dan SPJ, tetapi juga memverifikasi fisik hasil pekerjaan serta efektivitas layanan yang dibangun.
“Kalau memang tidak efektif dan hanya buang-buang anggaran, maka ini bisa masuk kategori pemborosan atau bahkan dugaan korupsi. Harus segera diusut,” tutup Doni.
Catatan Penutup
Aplikasi Si Adung seharusnya menjadi jembatan antara masyarakat dan pemerintah dalam mendorong pengawasan partisipatif terhadap isu lingkungan. Namun, jika sejak perencanaan hingga pelaksanaannya tidak transparan, maka bukan hanya kepercayaan publik yang rusak, tetapi juga potensi kerugian negara yang nyata.
Dinas Lingkungan Hidup Kota Lubuk Linggau hingga berita ini diterbitkan belum memberikan klarifikasi resmi. (Red)


Posting Komentar