Laporan yang tercatat dengan nomor STTL/361/VIII/2025/BARESKRIM itu dilayangkan pada 1 Agustus 2025. Dalam aduannya, Shandy menyebut PT.BSE yang sebelumnya merupakan kontraktor tambang PT.Barasentosa Lestari (BSL)—tidak membayar kewajiban hingga miliaran rupiah.
Shandy mengaku piutang yang belum dibayarkan BSE kepadanya pribadi mencapai Rp 14,9 miliar. Selain itu, sejumlah pengusaha lokal penyedia jasa katering di Desa Belani juga ikut menjadi korban dengan total kerugian lebih dari Rp 2,8 miliar.
Rinciannya sebagai berikut:
1. Sumarta: Rp 740.743.000
2. Ariski: Rp 400.774.000
3. Agino: Rp 643.499.000
4. Arbendi: Rp 158.642.000
5. Teguh: Rp 890.274.000
“Total tunggakan mencapai belasan miliar rupiah, ini yang rugi bukan cuma saya saja tapi juga masyarakat lainnya. Kami sudah berulang kali menagih, namun tidak ada itikad baik dari pihak perusahaan. Karena itu, saya menempuh jalur hukum dengan melapor ke Mabes Polri,” tegas Shandy Hermanto, jum'at 22 agustus 2025.
Ia menilai, selain BSE selaku kontraktor, PT Barasentosa Lestari (BSL) sebagai pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) juga tidak bisa lepas tangan. Menurutnya, BSL wajib bertanggung jawab atas konflik bisnis yang muncul di wilayah konsesinya, sebagaimana diatur dalam UU Minerba Pasal 125 ayat (1).
Shandy berharap pihak PT.BSE maupun PT.BSL segera bertanggung jawab, atau minimal mencicil piutang yang ada agar tidak menimbulkan konflik sosial di Desa Belani.
“Sudah jelas dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, pemegang IUP wajib bertanggung jawab atas permasalahan yang timbul di area tambang. Jadi jelas PT.BSL tidak bisa tutup mata apalagi angkat tangan,” tutupnya. (Rilis)
Sumber: elpublika.com
Posting Komentar