Padahal, target awal penetapan tersangka disebut-sebut akan dilakukan pada bulan Mei 2025. Namun, hingga memasuki pekan ketiga September 2025, proses tersebut nampak molor tanpa kejelasan.
Mengutip dari Linggau Pos, dengan judul: https://linggaupos.bacakoran.co/amp/32426/penyidikan-dugaan-korupsi-pengadaan-baju-seragam-sekolah-gratis-begini-kata-plt-kajari-musi-rawas/16
Plt Kepala Kejari Musi Rawas menegaskan bahwa penyidikan masih berlangsung dan pihaknya tetap berkomitmen menuntaskan kasus ini sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku. Bahkan, penyidik Pidsus telah melakukan sejumlah langkah penting, termasuk penggeledahan di kantor Dinas Pendidikan (Disdik) dan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Musi Rawas.
Hingga saat ini, lebih dari 20 orang saksi telah diperiksa, mulai dari pihak ketiga selaku rekanan, hingga para pejabat pengguna anggaran. Kasus ini juga telah diekspos ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk pendalaman lebih lanjut.
Berdasarkan data yang dihimpun, total anggaran pengadaan seragam sekolah tahun 2023 mencapai Rp 11.607.000.000. Anggaran tersebut dialokasikan ke dalam empat paket kegiatan, yakni:
Seragam SD sebanyak 12.906 pcs dengan nilai Rp 3.871.800.000.
Seragam SMP sebanyak 9.118 pcs dengan nilai Rp 2.735.400.000.
Dua paket tersebut bersumber dari APBD Kabupaten Musi Rawas.
Sementara itu, dua paket lainnya dibiayai melalui Dana Alokasi Umum (DAU) APBN, yakni:
Seragam SD sebanyak 6.666 pcs dengan nilai Rp 1.999.800.000.
Seragam SMP sebanyak 10.000 pcs dengan nilai Rp 3.000.000.000.
Besarnya anggaran serta luasnya jangkauan pengadaan ini menjadikan kasus tersebut menjadi sorotan publik, terutama karena menyangkut kebutuhan dasar peserta didik dan hak masyarakat atas pendidikan.
Menanggapi perkembangan kasus ini, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aliansi Pemuda Anti Korupsi (APAK) menyampaikan keprihatinannya.
Koordinator LSM APAK, Doni Aryansyah, dalam keterangan persnya menilai bahwa proses hukum seharusnya sudah berada pada tahap penetapan tersangka, mengingat menurutnya pemenuhan barang bukti hampir komplit.
“Jika melihat perkembangan penyidikan, sudah sepatutnya ada kejelasan siapa yang bertanggung jawab. Penundaan yang berlarut-larut justru menimbulkan tanda tanya di masyarakat,” tegas Doni.
LSM APAK juga menyoroti fakta bahwa pada tahun terjadinya kasus, Dinas Pendidikan Musi Rawas dipimpin oleh seorang Pelaksana Tugas (Plt), bukan pejabat definitif. Menurut mereka, posisi Plt memiliki kewenangan terbatas.
“Seorang Plt tidak memiliki kewenangan mutlak untuk mengambil kebijakan strategis. Ia hanya boleh melaksanakan tugas rutin dan administratif. Untuk keputusan penting, apalagi pengadaan barang/jasa dengan nilai besar, harus atas instruksi atau persetujuan langsung dari Bupati,” jelas Doni.
Pendapat tersebut merujuk pada sejumlah regulasi, di antaranya:
Permenpan RB No. 23 Tahun 2016 tentang jabatan Pelaksana Tugas dan Pelaksana Harian.
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, khususnya Pasal 14.
Surat Edaran Kepala BKN Nomor 1/SE/I/2021 mengenai kewenangan Plt/Plh dalam aspek kepegawaian.
Berdasarkan regulasi tersebut, LSM APAK menegaskan bahwa penting bagi aparat penegak hukum untuk menelusuri secara menyeluruh keterlibatan para pejabat terkait, baik di tingkat pengguna anggaran, pejabat pembuat komitmen, maupun pucuk pimpinan daerah.
“Kasus ini harus terang benderang. Masyarakat berhak mengetahui sejauh mana tanggung jawab pejabat yang terlibat, agar jelas siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban,” pungkas Doni.
Meski demikian, LSM APAK tetap menekankan pentingnya mengedepankan asas praduga tak bersalah. Menurut mereka, penegakan hukum harus dilakukan secara objektif, transparan, dan berkeadilan, tanpa mengorbankan hak-hak pihak yang diperiksa.
Saat ini, publik masih menunggu langkah tegas Kejari Musi Rawas dalam menentukan arah penanganan perkara yang menyangkut kepentingan masyarakat luas tersebut.
(Rilis/Redaksi)


Posting Komentar